Picture
Mencari ilmu agama adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dengan teladan dari para Salaf, dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga para ulama yang hidup di masa sekarang. Tentunya demikian pula dengan teladan dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau adalah salah seorang dari sekian banyak orang yang sangat getol untuk menuntut ilmu agama.

Dalam judul kali ini kita akan bawakan pernyataan al-Imam asy-Syafi’i yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’[1] tentang orang yang mengambil ilmu dari sembarang orang dan asal comot, tanpa memerhatikan dari mana dan dari siapa ia mengambilnya:

عَنِ الرَّبِيعِ، قال: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ وَذكر مَنْ يَحْمِلُ الْعِلْمَ جِزَافًا، قال: هذَا مِثْلُ حَاطِبٍ أَقْبَلَ يَقْطَعُ حَزْمَةَ حَطَبٍ فَيَحْمِلُهَا، وَلَعَلَّ فِيهَا أَفْعَى فَتُلْدِغُهُ وَهُوَ لَا يَدْرِي. قَالَ الرَّبِيعُ يَعْنِي الَّذِينَ لَا يَسْأَلُونَ عَنِ الْحُجَّةِ مِنْ أَيْنَ؟ يَكْتُبُ الْعِلْمَ وَهُوَ لَا يَدْرِي عَلَى غَيْرِ فَهْمٍ فَيَكْتُبُ عَنِ الْكَذَّابِ وَعَنِ الصَّدُوقِ وَعَنِ الْمُبْتَدِعِ وَغَيْرِهِ، فَيَحْمِلُ عَنِ الْكَذَّابِ وَالْمُبْتَدِعِ الْأَبَاطِيلِ فَيَصِيرُ ذلِكَ نَقْصاً لِإِيمَانِهِ وَهُوَ لَا يَدْرِي.

Dari ar-Rabi’ bin Sulaiman (murid senior al-Imam asy-Syafi’i dan dinyatakan oleh al-Imam asy-Syafii sebagai perawi kitab-kitab beliau-pen) ia berkata: Aku mendengar asy-Syafi’i berkata – ketika menjelaskan keadaan orang yang mengambil ilmu secara serampangan (asal comot-pen) -, asy-Syafi’i berkata:

“Orang seperti ini permisalannya adalah orang yang datang untuk memotong-motong satu ikat kayu bakar. Lalu tumpukan kayu bakar itu ia bawa begitu saja. Bisa jadi di antara ikatan kayu itu ada ular yang siap mematuknya dalam keadaan ia tidak mengetahuinya.”

Ar-Rabi’ menambahkan penjelasan:

“Yang beliau maksud adalah orang yang tidak menanyakan hujjah/dalilnya dari mana? Ia menulis/mengumpulkan ilmu dalam keadaan tidak tahu dan tidak memahaminya. Sehingga ia pun mengumpulkan dari kadzdzab (pendusta), terkadang dari shaduq (orang yang masih bisa dipercaya), dari mubtadi’ (ahli bid’ah), dan selainnya. Sehingga ia membawa ilmu dari kadzdzab dan mubtadi’ berupa berbagai kebatilan (atau riwayat-riwayat hadits yang batil-pen) sehingga hal ini menjadi suatu kekurangan/cela pada keimanannya dalam keadaan ia tidak menyadarinya.”

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah memilah-milah sumber ilmu ketika masa belajar: Telah diketahui bersama al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah adalah seorang yang sangat getol dan semangat untuk mencari ilmu. Bahkan meskipun terhalang dengan kondisi ekonomi yang serba sulit beliau tetap menuntut ilmu dan berusaha untuk mencarinya ke berbagai wilayah Islam. Sehingga selain belajar di Makkah, beliau juga pergi ke Madinah, Yaman, Iraq, dan selainnya untuk menimba ilmu dari ulama yang ada.

Di Makkah beliau belajar kepada ulama-ulama besar waktu itu seperti Sufyan bin ‘Uyainah dan Muslim bin Khalid az-Zanji (mufti Masjid al-Haram waktu itu). Di Madinah beliau belajar kepada al-Imam Malik yang digelari dengan Imam Darul Hijrah (imam kota tempat hijrah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), di Yaman beliau berguru kepada ulama-ulama besar yang ada di sana seperti Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin. Kedua ulama ini adalah murid ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij atau lebih dikenal dengan Ibnu Juraij. Dan Ibnu Juraij adalah murid dari ‘Atha’ bin Abi Rabah seorang ulama tabi’in murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Ketika di Bashrah beliau berguru kepada Muhammad bin al-Hasan, murid senior Abu Hanifah yang masih tersisa yang sekaligus penasihat Khalifah Harun ar-Rasyid. Meskipun terjadi banyak perbedaan pendapat dengan Muhammad bin al-Hasan beliau tetap menghormati dan memujinya.

Demikianlah al-Imam asy-Syafi’i ketika melakukan rihlah thalabul ilmi. Beliau tidak mengambil ilmu dari sembarang guru. Akan tetapi beliau mengambilnya dari orang-orang yang benar-benar terpandang dan kokoh ilmunya. Terlebih dalam masalah hadits, beliau sangat memerhatikannya sehingga beliau meminta kepada al-Imam Ahmad yang seorang pakar dan spesialis dalam bidang hadits untuk memberitahukan kepadanya hadits yang shahih agar bisa memeganginya. Sikap ini sekaligus juga teladan bagi kita dalam mencari hadits, yaitu tidak sembarangan dalam menerima dan menyampaikannya.

Wasiat dari Muhammad bin Sirin rahimahullah Muhammad bin Sirin adalah tokoh besar dari kalangan tabi’in. Berjumpa dengan 30 orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Muhammad bin Jarir ath-Thabari menyatakan: Ibnu Sirin adalah seorang yang faqih, alim, wara’, ahli sastra, banyak haditsnya, seorang yang jujur. “Para ulama dan para tokoh mempersaksikan sifat-sifat ini pada diri beliau. Dan beliau seorang hujjah (menjadi sandaran dalam permasalahan agama-pen).”[2]

Dikisahkan pula bahwa Muhammad bin Sirin telah dimintai fatwa ketika masih ada sejumlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup.

Wasiat beliau yang sangat penting bagi kita dan selaras dengan pernyataan al-Imam asy-Syafi’i adalah berikut ini:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

Bahwasanya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah oleh kalian dari siapa kalian mengambil agama kalian.

Wasiat dari Muhammad bin Sirin ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah memberikan judul untuk wasiat di atas:

“Bab: Penjelasan bahwasanya sanad merupakan bagian dari agama, dan bahwasanya periwayatan hadits tidak boleh diterima kecuali dari perawi yang tsiqah (terpercaya). Sedangkan men-jarah (menjelaskan kekurangan) para perawi dengan kekurangan yang ada padanya adalah boleh, bahkan wajib dan tidak termasuk dari ghibah yang diharamkan, bahkan sebagai pembelaan terhadap syari’at yang mulia ini.”

Muhammad bin Sirin pernah ditanya: Bagaimanakah pendapat Anda tentang menyimak (ilmu atau hadits) dari ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu)?

Beliau menjawab: “kita tidak akan mendengarkan darinya, dan tidak ada kehormatan baginya.”[3]

Kesimpulan-kesimpulan:
  1. Pentingnya meneliti guru yang kita akan mengambil ilmu darinya.
  2. Kelurusan ilmu seseorang akan berpengaruh pada kelurusan agamanya dan keimanannya.
  3. Akibat buruk ketika mengambil ilmu secara sembarangan dan asal comot.
  4. Wajibnya berhati-hati dalam menerima hadits. Demikian juga dalam ilmu-ilmu agama yang lain.
  5. Pentingnya mempelajari ilmu hadits.
  6. Para imam kaum muslimin semenjak generasi pertama telah memperingatkan umat dari bahaya ahli bid’ah dan ahli ahwa’. Demikian pula dengan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga telah memperingatkan umat dari bahaya belajar kepada mereka.
  7. Rusaknya akidah dan amalan seseorang ketika tidak berlandaskan pada ilmu yang benar.
  8. Islam memerangi kebodohan.
  9. Pentingnya mengenali ilmu yang benar dan tidak benar.
  10. Adab penuntut ilmu: menanyakan dalil yang shahih, tidak asal terima dan mendukung.
  11. Adab pengajar, seorang alim, dan para ulama: menyampaikan dalil tentang permasalahan yang disampaikan, baik ditanya dalilnya atau tidak, terlebih ketika ditanya tentang dalilnya.
[1] Hilyatul Auliya’ 4/103 (al-Maktabah asy-Syamilah)

[2] Diringkas dari Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi asy-Syafi’i. (al-Maktabah asy-Syamilah)

[3] Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi asy-Syafi’i rahimahullah. (al-Maktabah asy-Syamilah)





Leave a Reply.